Jumat, 20 Juni 2014

Mencintai Dengan Tahu Diri

Saya sedang duduk di depan cermin ketika sahabat terbaik saya datang dengan wajah muram. Ia duduk di hadapan saya. Terdiam lama menatap saya yang tengah diam menatapnya.
"Have you ever fall for someone you haven't even met? And you just wish over time if that someone would ever fall for you too."
Saya tidak menjawab.
"Bahagiaku tidak bergantung padanya. Tetapi kehadirannya membuatku bahagia. Sampai suatu pagi aku membaca teks darinya. Ia bilang, ia akan berhenti mendekatiku sebab ia merasa itu hanya menggangguku. Ia mengira aku bosan dengan segala perhatian yang ia berikan padaku."
"...nggg oke, terus?" Akhirnya saya bersuara.
"BAGAIMANA AKU BISA BOSAN, SEMENTARA SEGALA PERHATIAN DARINYA ADALAH KEBAHAGIAAN?" Ia menjawab dengan nada tinggi. Ada genangan air di kedua matanya.
"BAGAIMANA IA BISA BERPIKIR BAHWA AKU MERASA TERGANGGU, SEMENTARA AKU SELALU MENDAPATI DIRIKU KECEWA TIAP KALI PONSELKU BERDERING NAMUN BUKAN DARINYA?" Pipinya mulai basah. Suaranya menyiratkan keputus asaan.
"Aku harus bagaimanaaaa?" Tangisnya pecah.
Saya diam.
"Kau kan tahu, aku tidak pandai dalam urusan seperti ini. Kalau saja aku mahir, aku tentu tidak melajang selama ini. Empat tahun tidaklah singkat untuk dilalui sendiri, kau tahu?" Ia melanjutkan.
Saya masih mendengarkan.
"Lalu ia hadir. Tidak ada hal istimewa yang ia lakukan padaku, namun kehadirannya membuatku merasa cukup."
"Sejauh ini kedekatan kami memang hanya melalui teks dan telepon. Belum sekalipun kami pernah bertemu. Ia di luar pulau sana, sementara pekerjaanku di sini belum memungkinkan untuk aku bisa cuti."
"It's weird and beautiful, yet sad at the same time that you can't meet that someone whom you're able to hold a long convo with, everyday."
"Aku dan dia adalah sepasang rindu yang masih dipisahkan temu."
Ia masih bercerita saat sekilas saya menangkap senyum di bibirnya.
"Aku bahagia sewaktu ia mengakui kecemburuannya pada seorang pria yang juga mendekatiku. Terlebih lagi, ia mengenal pria tersebut. Kau tahu? Ia lucu sekali jika sedang cemburu." Senyumnya merekah.
"Sayangnya ia tidak tahu, hanya ia yang kubiarkan mendekatiku." Senyumnya kembali hilang.
"Ia bilang sayang padaku. Namun aku tak turut membalas ucapannya."
"Sampai sekarang ia tidak tahu, pria yang pernah dicemburuinya itu bahkan tak pernah aku tanggapi. Pun ia tidak tahu bahwa aku...entah bagaimana--aku berharap tidak mencintainya, tapi aku punya perasaan padanya. Tidak jelas apa namanya perasaan seperti ini. Tidak masuk akal. Kami bahkan belum pernah bertemu."
"Itu namanya...cinta," ucap saya.
"Tak perlu kau tegaskan," balasnya kesal
"Mengapa tidak kamu jelaskan padanya? Mengapa kamu biarkan ia membenarkan kesimpulannya?" Saya bertanya heran.
"Karena aku mencintai dengan tahu diri." Jawabannya membuat saya merinding.
"Maksudmu?" Saya menuntut penjelasan.
"Dia pria baik. Menyenangkan. Mempesona dalam kesederhanaan. Punya wajah rupawan dan cukup terkenal. Tak heran banyak wanita cantik di sekitarnya. Sementara aku, hanya begini adanya." Wajahnya tertunduk.
"Aku tidak yakin hanya aku wanita yang ia dekati. Ia punya begitu banyak pilihan di sana. Sementara aku jauh di sini, dan hanya begini. Aku sadar diri. Tetapi kedekatan ini membahagiakan. Rumit memang. Kupikir jika aku mengetahui yang sebenarnya, aku pasti akan patah hati. Kau tahu, ini seperti minum racun yang enak rasanya. Itulah mengapa aku tak kunjung meminta kejelasan hubungan kami padanya. Ia tak suka ribet, aku pun tak ingin drama."
"Oh tentu. Silakan tertawa!" Katanya, begitu melihat saya mematung.
"Jatuh hati pada yang belum pernah ditemui adalah kebodohan," ucapnya.
"Namun itu bukanlah kesalahan," saya memotong.
Ia menatap saya.
"What? People are stupid when they're falling in love," saya menambahkan.
"Kebodohanku memang keterlaluan. Bahkan saat ia pamit untuk berhenti mendekatiku, aku tidak mengatakan apa-apa." Ia melemparkan pandangannya ke arah luar jendela.
"It's ok. Being stupid is better because we learn. In a very hard way. Sometimes." Saya mencoba bijak, namun sepertinya gagal.
Ia tersenyum sinis. Saya bertaruh dalam hati bahwa ia akan meludahi saya beberapa detik lagi. Ah, saya tidak akan kelepasan sok bijak lagi kalau begitu.
"Atau...ia sengaja memanipulasi keadaan agar punya alasan untuk menjauhiku? Jadi ini semua hanya skenario agar ia tak terkesan menyakitiku?" Ia nampak berpikir.
Saya sedikit lega dalam hati sebab ia tidak jadi meludahi saya.
"Jangan suka membenarkan kesimpulanmu sendiri!" Saya mengingatkannya.
"Saat ini, aku bahkan tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang seharusnya aku lakukan dan mana yang tidak," jelasnya dengan wajah kembali tertunduk.
"Aku benar-benar tidak tahu apakah ia berharap aku mencegahnya atau membiarkannya pergi?"
"Aku tidak ingin salah memperlakukannya. Entahlah."
"The last things I know is when you care about someone, you want them to stay."
"..."
"But sometimes, showing you care means letting them go."

DHEG!

Saya menatap sosok sahabat di depan cermin ini. Saya mematung lagi. Lama sekali.

-FA