Minggu, 11 Oktober 2015

Lelaki Yang Diam-diam Mencinta

Suatu hari, ada seorang pemuda yang diam-diam mencinta -lelaki itu aku, by the way. Ia habiskan waktunya untuk memerhatikan setiap lekuk perjalanan hidup sang wanita pujaannya. -wanita itu kamu, tentu saja. Tapi, ada hal yang tak bisa membuat lelaki itu menunjukkan perasaannya. Lelaki itu sedang menjalani hubungan asmara dengan wanitanya. Maka, ia pendam perasaan itu dalam-dalam. Sebab ia begitu ingin memuliakan wanitanya.
"Tuhan, tetapkan hatiku untuk setia. Sebab, tak ada yang lebih indah, selain berbahagia dalam satu perasaan yang terjalin dari dua hati yang saling mencintai."

Hingga suatu hari, semesta berkehendak lain. Kesetiaan yang lelaki itu jaga rapat-rapat dinistakan oleh sikap wanitanya. Wanita itu memutuskan berhenti menjalani hubungan dengan si lelaki. Sebab ada hal yang lebih penting dari sekadar kebersamaan, yaitu kesabaran untuk menunggu waktu yang tepat dalam menjalin sebuah hubungan percintaan; pernikahan. Maka, berpisahlah mereka.

Sang lelaki gundah gulana, sebab yang dicinta pergi meninggalkannya. Keseharian si lelaki itu pun berantakan. Hatinya hancur oleh perasaan bernama entah. Tapi hidup harus terus berputar, dan langkah tak bisa bila hanya sekadar diam. Ia lanjutkan perjalanan hidupnya, dengan satu keyakinan, bahwa cara terbaik untuk menyembuhkan luka hati adalah dengan jatuh cinta lagi.

Hingga datanglah masa itu. Saat di mana hati sang lelaki tengah sibuk mencari, ia mengingat seorang perempuan yang selama ini diam-diam ia cintai. Kepada langit, ia berdoa, "Duhai sang Maha Pembolak-balik Hati, perkenankan saya untuk mencintai lagi. Sebab saya begitu mendamba ia, semoga kau memberi kesempatan agar saya bisa mendekat kepadanya."

Rupanya, semesta sedang berbaik hati. Sang lelaki mendapat kesempatan untuk bisa menunjukkan perasaannya kepada sang wanita pujaannya. Dalam kesehariannya, lelaki itu mencuri perhatian sang wanita dengan berbagai macam cara. Semisal sapa, canda, bahkan puisi-puisi yang ia tulis dan dikirimkan melalui kepak sayap merpati.

Oleh sebab kegigihannya dalam berusaha, wanita itu pun luluh. Tak kuasa ia oleh pesona sang lelaki yang membuatnya jatuh. Merona pipi sang wanita, warnanya merah muda seperti cinta. Tapi ia tak ingin terburu-buru. Ia biarkan sang lelaki menunjukkan usahanya dengan lebih sungguh. Suatu hari, sang wanita berkata, "Bila sungguh dalam kau mencintaiku, rawatlah kesabaranmu hingga tumbuh mendewasa. Aku tak ingin tergesa dalam menjatuhkan cinta, aku ingin tahu seberapa kuat kau akan berusaha."

Diterimalah tantangan itu oleh sang lelaki. Ia patrikan tekadnya di dalam dada,
"O, nona... betapa cinta adalah perkara memilih hati yang tepat, sedang segala yang layak adalah patut untuk diperjuangkan. Kau duduklah diam-diam dan tenang, akan kutunjukkan pada kau bagaimana rupa kesabaran dan perjuangan."
Lelaki itu, dengan kesabaran yang sungguh, berusaha meyakinkan perasaan sang wanita agar lekas mendeklamasikan cinta di dalam hatinya, melalui puisi-puisi keindahan yang diciptakan isi kepala wanita kepada dirinya sendiri. Agar kelak, berani menggenggam ketulusan yang ditawarkan lelaki itu.

Sampai suatu ketika, datanglah masa itu. Saat di mana sang wanita akhirnya tak kuat menahan debar perasaan yang meletup tak menentu.
"Baiklah, tuan. Saya menyerah. Saya mencintaimu." 
Maka, beginilah mereka sekarang, menjalani asmara, melangkah asmara. Sesak hati mereka dipenuhi bunga-bunga cinta. Tak ada lagi sendu, tak jua bimbang tertuju. Hanya ada cinta dan kasih sayang yang utuh.

Lelaki itu kini berdoa, "Tuhanku yang Maha Sempurna, bila cinta ini adalah sesuatu yang kau kehendaki, maka jaga kami. Biarkan kebahagiaan mengetuk pintu-pintu hati. Hingga hilang isak yang sesenggukan sesak. Perkenankan kami bahagia dalam kebersamaan tanpa sekat."

Lalu bagaimana dengan doa sang wanita? Hanya kau, -wanita, yang tahu bagaimana rasanya. Maka, bolehkah aku bertanya?
"Jika ini adalah cinta, maukah kau menjalani kisahnya lebih lama dari selamanya?"

Aku tunggu jawabanmu.
Dari Aku.
Lelaki yang diam-diam mencintaimu utuh.

-Mas_aih

Minggu, 04 Oktober 2015

Perempuan Dalam Dekapan

Sore tadi seorang perempuan mendekati saya dengan mata sembab. Kesedihan menyemburat dari wajahnya yang bulat. Tanpa aba-aba ia menghambur ke dalam pelukan saya, menangis sesenggukan dengan dadanya yang sesak. Lalu saya mulai membelai punggungnya hingga ia tenang. Mempersilakan ia menumpahkan setiap kesedihan di dada saya.“Kenapa?”
“Ia menyakiti saya lagi.”
“Bagaimana bisa?”
“Ia selingkuh.”

Saya membiarkan ia menangis. Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Waktu berlalu dengan hening. Tak ada bunyi-bunyi lain selain rintih suaranya yang terisak. Ia meruncingkan kesedihan sebagai air mata yang menganak sungai membasahi pipi. Menguarkan aroma bedak yang basah terbasuh air mata. Mungkin, di antara kesedihan dan kebahagiaan, satu hal yang membuatnya sama adalah air mata. Engkau bisa menangis karena begitu sedihnya, pun engkau akan menangis karena merasakan bahagia sedemikian dalamnya.

“Jangan biarkan kesedihan membunuhmu perlahan. Rasakan secukupnya. Jangan sampai kau terlalu terpuruk karenanya,” ucap saya buka suara.
“Aku tak bisa. Hatiku hancur. Padahal apa kekuranganku untuk dia? Toh selama ini aku berusaha untuk selalu ada.”
“Bila engkau benar cinta, kau tak akan mempermasalahkan untung ataupun rugi. Kau akan tetap tulus membuatnya bahagia, sebab dari sanalah kebahagiaanmu berasal.”

Ia terdiam. Tangisnya mereda. Masih ada suara sesenggukan, —sebenarnya. Tapi tak begitu pilu dibanding beberapa menit yang lalu.

“Terima kasih karena selalu ada ketika aku bersedih. Memberikan waktu dan pelukan untuk menenangkan. Kau sahabat terbaikku,” ucap ia sambil menatap mata saya dalam-dalam.
“Jangan sungkan. Aku senang menjadi sahabatmu.”

Dua kalimat itu yang muncul dari bibir saya. Padahal begitu banyak kalimat yang menyesaki kepala. Tapi hati selalu kukuh menahan untuk tidak mengungkapkan. Mungkin saya pecundang. Tapi buat apa saya tergesa mengungkapkan cinta. Toh bila pada akhirnya ia benar mencintai saya, ia akan melihat saya sebagai seseorang yang pantas untuk dicintai. Saya cukup bahagia menjadi teman bagi kesedihan-kesedihannya. Tanpa perlu pedulikan akan berbalas atau tidak. Sebab yang saya lakukan adalah mencintai, bukan berdagang.

-Mas_Aih