Minggu, 04 Oktober 2015

Perempuan Dalam Dekapan

Sore tadi seorang perempuan mendekati saya dengan mata sembab. Kesedihan menyemburat dari wajahnya yang bulat. Tanpa aba-aba ia menghambur ke dalam pelukan saya, menangis sesenggukan dengan dadanya yang sesak. Lalu saya mulai membelai punggungnya hingga ia tenang. Mempersilakan ia menumpahkan setiap kesedihan di dada saya.“Kenapa?”
“Ia menyakiti saya lagi.”
“Bagaimana bisa?”
“Ia selingkuh.”

Saya membiarkan ia menangis. Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Waktu berlalu dengan hening. Tak ada bunyi-bunyi lain selain rintih suaranya yang terisak. Ia meruncingkan kesedihan sebagai air mata yang menganak sungai membasahi pipi. Menguarkan aroma bedak yang basah terbasuh air mata. Mungkin, di antara kesedihan dan kebahagiaan, satu hal yang membuatnya sama adalah air mata. Engkau bisa menangis karena begitu sedihnya, pun engkau akan menangis karena merasakan bahagia sedemikian dalamnya.

“Jangan biarkan kesedihan membunuhmu perlahan. Rasakan secukupnya. Jangan sampai kau terlalu terpuruk karenanya,” ucap saya buka suara.
“Aku tak bisa. Hatiku hancur. Padahal apa kekuranganku untuk dia? Toh selama ini aku berusaha untuk selalu ada.”
“Bila engkau benar cinta, kau tak akan mempermasalahkan untung ataupun rugi. Kau akan tetap tulus membuatnya bahagia, sebab dari sanalah kebahagiaanmu berasal.”

Ia terdiam. Tangisnya mereda. Masih ada suara sesenggukan, —sebenarnya. Tapi tak begitu pilu dibanding beberapa menit yang lalu.

“Terima kasih karena selalu ada ketika aku bersedih. Memberikan waktu dan pelukan untuk menenangkan. Kau sahabat terbaikku,” ucap ia sambil menatap mata saya dalam-dalam.
“Jangan sungkan. Aku senang menjadi sahabatmu.”

Dua kalimat itu yang muncul dari bibir saya. Padahal begitu banyak kalimat yang menyesaki kepala. Tapi hati selalu kukuh menahan untuk tidak mengungkapkan. Mungkin saya pecundang. Tapi buat apa saya tergesa mengungkapkan cinta. Toh bila pada akhirnya ia benar mencintai saya, ia akan melihat saya sebagai seseorang yang pantas untuk dicintai. Saya cukup bahagia menjadi teman bagi kesedihan-kesedihannya. Tanpa perlu pedulikan akan berbalas atau tidak. Sebab yang saya lakukan adalah mencintai, bukan berdagang.

-Mas_Aih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar